Friday, September 29, 2006

Surat sorang Istri Tua kepada Istri Muda....

From: "M. Sigit Yuniarso" <Sigit.Yuniarso@bankmandiri.co.id>
Sent: Friday, September 29, 2006 11:33 AM
Subject: [Zamrud-BlokS] "Surat seorang Isti Tua kepada Istri Muda"


Hallo, ada yang suka cerpen nggak?
Biar nggak ngantuk, coba deh baca ini : "Surat seorang Isti Tua kepada Istri Muda."
Bukan berarti kita mendukung poligami lho.
Its just a story ......


Yun,
Jarum jam sudah menunjukan pukul 12 malam, ketika aku menulis surat ini. Bukan waktu yang pas tentu saja. Pada jam-jam seperti ini pasti sebagian orang sudah meringkuk di dalam kamar tidur masing-masing. Bahkan pasti sudah ada yang bermimpi. Tapi aku masih juga terjaga. Makin kuupayakan untuk tidur, aku makin gagal. Makin kucoba memejamkan mata rasa kantuk justru meninggalkanku. Ya, malam ini aku benar-benar merasa sendirian Yun. Karena faktanya pun demikian.
Putri sulungku Ani, sudah masuk kamarnya sejak pukul sembilan. Ia mengatakan padaku harus buru-buru tidur karena pagi-pagi sekali mesti berangkat ke sekolah. Ia kini kelas tiga SMU. Kebetulan letak sekolahnya agak jauh dari rumah. Kalau kesiangan, ia bisa terlambat tiba di sekolah. Waktunyapun lebih banyak ia habiskan diluar rumah. Ada hari dimana ia harus les Prancis, kursus musik (sejak kecil ia memeng gemar menyanyi), taekwondo, belajar bersama, dan entah apa lagi. Aku sendiri tak hapal apa saja kegiatannya selain yang telah kusebutkan barusan.
Dodo, adiknya, sekarang kelas satu SMU. Lagi semangat-semangatnya bermain bola basket, Selain berlatih disekolah, ia juga ikut sebuah klub. Pelatihnya kebetulan guru olah raga disekolahnya. Tiga kali sepekan ia menghabiskan waktu sorenya untuk berlatih bersama teman-temannya. Begitu tiba dirumah, ia sudah harus menyelesaikan PR-PRnya. Setelah itu, ia jadi terlalu lelah untuk bisa mengobrol denganku. Hobynya surfing diinternet juga luar biasa. Akibatnya, ia seolah asik dengan diri dan dunianya sendiri.
Sinta, anakku yang ketiga, sekarang ini juga sedang sibuk-sibuknya melakukan berbagai persiapan untuk pementasan sebuah drama panggung. Sejak dulu, ia memang menyukai dunia seni peran, dunia yang dulu sempat kugeluti. Kupikir ia mewarisi bakatku yang kupendam sejak menikah dengan mas Dito. Mas Dito ingin aku menjadi ibu rumah tangga saja.
Yun,
Mau tau alasan kenapa aku menulis surat ini ? Ya, dalam kesendirian yang makin sering ku alami, malam ini aku tiba-tiba ingat Mas Dito, sesuatu yang sebelumnya hampir tak pernah kurasakan. Kau tahu, dalam dua tahun terakhir ini sebenarnya aku hampir tak pernah lagi memikirkan hal-hal konyol tentang Mas Dito dan kamu. Aku mulai terbiasa menikmati dinginnya malam seorang diri. Mengapa ? Karena dalam kesendirian aku bisa menjadi diriku sendiri.
Tapi malam ini, entah karena apa. Mendadak saja aku teringat Mas Dito dan kamu. Pikiran-pikiran konyol itu begitu saja menari-nari dikepalaku. Kubayangkan hal-hal yang mungkin saja sedang kau lakukan bersamanya, seperti hal-hal yang biasa dan bisa kulakukan saat Mas Dito berada disisiku. Maafkan Yun, jika akhirnya aku menulis surat konyol ini. Percayalah aku tak bermaksud apa-apa. Sudah lama ku ikhlaskan semua yang telah terjadi. Keikhlasan yang membuat bathinku tentram.
Kau tentu tahu bahwa awalnya aku amat marah pada Mas Dito dan kamu. Normal bukan ? Wanita mana yang mau dimadu ? Sebagai istri, aku tidak ingin cinta dan kasih saying suamiku terbelah dua. Mas Dito mutlak harus jadi milikku. Jiwa dan raga. Lahir dan batin. Fisik dan mental. Tak boleh ada perempuan lain yang hadir sesaat pun di hati Mas Dito. Suratmu yang berisi permintaan maaf yang kau kirimkan melalui pos, sudah lama kusobek-sobek sesaat setelah aku membacanya. Tapi kau tau, isinya tak pernah kusobek. Ia terus bermain-main dalam pikiranku. Dan dua tahun lalu, aku akhirnya memutuskan untuk menerima dengan ikhlas semuanya. Aku tak ingin hidupku terus-terusan diganggu api dendan dan amarah.
Pada suratmu dulu, aku masih ingat kau mengataka amat mencintai Mas Dito. Tutur katanya yang lembut tapi tegas, senyumnya yang menawan, kecerdasanya, ketegarannya, tanggungjawabnya, kesediannya untuk selalu membantu orang lain, membuatmu merasa tak mungkin lagi menemukan pria seperti dia.
Tak ada yang salah Yun. Semua yang kau katakana itu benar adanya. Itulah alasan mengapa akupun tak ingin kehilangan Mas Dito. Akupun merasa tak mungkin menemukan pria seperti dia, terlepas dari fakta bahwa akhirnya ia menikah denganmu. Bagiku, akhirnya itulah harga yang harus kubayar. Melepaskan Mas Dito, bagiku bukan jalan keluar yang tepat. Apalagi usiaku sudah 40-an saat ini. Aku tak ingin mengakhiri sisa hidupku dengan pria lain yang mungkin saja tidak lebih baik dari mas ditto. Yang menggembirakanku, anak-anakku pun ujung-ujungnya ikhlas memaafkan kekhilafan ayahnya. Apalagi secara umum sikap Mas Dito hampir tak berubah. Selain kehadirannya-karena harus berbagi denganmu dan anakmu-nyaris tak ada yang kurang. Ia masih sehangat dulu. Selalu mau tau urusan anak-anaknya. Selalu mau mendengarkan keluh-kesah mereka. Itulah hebatnya Mas Dito. Meski capek sehabis bekerja dikantor, ia selalu pulang dengan senyum dibibirnya. Tak pernah ia membawa urusan kantor ke rumah.
Yun,
Dalam dua tahun terakhir ini, aku memang cukup dapat menikmati hidup. Ketiga anakku tumbuh dengan normal, meski lima tahun terakhir harus berbagi dengan anakmu. Mereka punya pendidikan yang baik. Mas Dito mengatakan siap banting tulang demi pendidikan ank-anaknya. Itu amat menentramkan. Amat menyejukan. Mas Dito memberikan semua yang kami butuhkan, lahir dan batin. Batin ? Kedengarannya aneh bukan ? tapi itulah yang kurasakan, Yun. Setelah kalian menikah lima tahun yang lalu, ada hal-hal baru, perubahan-perubahan kecil pada diri Mas Dito. Hal-hal kecil itu, yang pasti Mas Dito dapatkan darimu, sungguh jadi variasi yang menyenagkan. Konyol? Ya, kadang-kadang aku jadi tersenyum sendiri dalam kesendirianku. Karena itulah akhirnya aku menikmati saja hidup seperti ini. Aku mencoba mengambil hikmah dari semua kejadian yang kualami. Bagiku, berbagi denganmu jadi bukan pilihan terburuk. Ada sisi-sisi positif dari setiap peristiwa yang terjadi, bukan? Paling tidak, aku kini tak sendirian memberikan perhatian pada Mas Dito. Aku jadi punya alasan untuk merawat diriku sendiri. Bagaimanapun juga, separti kamu, akupun tak ingin kehilangan Mas Dito.
Hikmah lain? Boleh kukatakan kepadamu, Yun? Ya, karena tak setiap hari ketemu Mas Dito, seringkali aku diusik oleh kerinduan terhadapnya. Seperti rasa gatal yang ingin kugaruk. Sesuatu yang sebenarnya mulai hilang dari diriku sebelum kemudian kalian menikah. Sebelumnya, aku memang merasa Mas Dito tak mungkin melakukan hal-hal yang konyol. Dia akan selalu berada dirumah begitu semua urusan kantornya beres. Lagipula aku tak melihat ada sesuatu yang kurang selama ini. Secara lahir aku puas dengan yang sudah diberikan Mas Dito. Begitu juga batin. Mas Ditopun kulihat demikian. Pelayananku sebagai istri, menurutku sudah cukup maksimal. Lahir dan batin. Aku tak melihat Mas Dito kekurangan dalam hal apapun. Setiap hari ia selalu gembira. Karena itu pada awalnya, seperti yang sudah kukatakan, aku marah ketika kau hadir. Aku kecewa. Bagiku dunia seperti sudah berakhir.
Tapi, belakangan kusadari hidup memang tak selamanya indah. Dan itulah dunia. Kadang-kadang manusia harus berbagi dengan sesama. Apa saja termasuk sesuatu yang sangat berharga. Ada yang bayarannya murah ada yang mahal. Makin mahal tentu makin bermakna.
Yun,
Masihkah keu membaca suratku? Bukankah sudah terlalu panjang aku menulis? Sebaiknya kusudahi saja ya. Tapi sebelum itu ingin kukatakan sekali lagi, bahwa kadang-kadang aku disergap rasa sepi, itupun tak selalu menggangguku. Itu konsekwensi kehidupan, begitu anak-anak kita tumbuh menjadi besar tak perlu ada yang begitu disesali bukan ?
Begitu dulu, Yun. Salamku pada Mas Dito kita. Berikan kepadanya yang terbaik jika kau ingin mendapatkan yang terbaik dari Mas Dito. Ingat seorang suami yang sudah berani beristri dua, punya kemungkinan memiliki istri ketiga dan keempat. Aku tak ingin penderitaan yang pernah kualami, kemarahan yang pernah kurasakan, dendam yang pernah bersemayam dalam diriku, ku alami.
Dariku, Sarah
Yuni tersenyum setelah membaca surat itu. Ada air bening meleleh dari tubir matanya. Pelan-pelan ia mengambil secarik kertas. Lalu coba menulis.
"Setelah membaca surat Mbak, saya jadi tak Cuma mencintai Mas Dito, Tapi juga menyayangi Mbak..."
Ia berhenti sesaat. Merasa tak tahu harus menulis apa. Tiba-tiba ia meremas surat itu dan membuangnya ke kotak sampah.
"Biarlah aku saja yang tahu betapa aku menyayangi Mbak," katanya dalam hati.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home